Seks di Wisma Atlet : Salah Kaprah Jurnalistik

Seperti yang sudah diketahui oleh kita semua tentang kejadian yang baru baru saja terjadi. terjadi hubungan badan antar tenaga kesehatan dan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Wisma Atlet. Kasus ini menyeruak di media sosial oleh ulah salah satu pelaku yang mengupload riwayat percakapan serta foto yang mengisyaratkan telah melakukan hubungan badan. Hal ini menjadi sorotan apalagi ketika headline di media massa sangat menyoroti orientasi seksual kedua pelaku tersebut dengan headline yang “panas”. Contohnya sebagai berikut :

“Seks Sesama Jenis Perawat dan Pasien di Wisma Atlet Terungkap gara-gara Isi Chat Viral di Medsos”

“Viral Mesum Sesama Jenis Pasien Covid-19 dan Perawat di Wisma Atlet, Berikut Sederet Faktanya”

Dari kedua headline tersebut kita mengetahui bahwa hubungan seksual tersebut terjadi diantara perawat dan pasien yang sesama jenis. Hal yang menjadi garis bawah disini ialah reaksi masyarakat Indonesia yang di dominasi oleh heteroseksual dan berprinsip dengan asas “ketimuran”. Dengan ajaran yang sudah mendarah daging di negara ini dan berisi tentang bagaimana kaum LGBTQA+ sebagai suatu komuniatas yang tak lebih berisi manusia manusia kotor menyimpang serta sex animal bahkan immoral, membuat berita ini lantas menjadi pemantik bagi api diskriminasi dan stereotip bagi kalangan pelangi. Padahal pada praktiknya disebutkan bahwa skandal seks di Rumah Sakit Wisma Atlet sendiri tidak hanya terjadi pada orang orang dengan orientasi seksual LGBT namun juga terjadi di kalangan heteroseksual juga namun pada kesempatan kali ini yang ter-spotlight alias keciduk hanya dari komunitas pelangi.

Dengan tipikal masyarakat Indonesia yang sangat konservatif diiringi oleh headline media yang clickbait tentunya menunggu bom waktu saja sebelum terjadi keributan pasal LGBT dan persekusi yang akan semakin gila. Dari semua itu, siapa yang patut di pertanyakan? Tentu saja, jurnalis.

Dalam kode etik jurnalistik sendiri disebutkan bahwa wartawan tidak diperkenankan menyiarkan berita yang memiliki ketimpangan akibat prasangka dan diskriminasi entah itu suku, ras, agama, suku, jenis kelamin dan lain lain. Juga dalam kode etik tersebut di paparkan bahwa jurnalis harus menyampaikan secara berimbang dan netral sehingga tidak terjadi ketimpangan pada satu kelompok.hal ini ada dikarenakan asas jurnalistik yang di terapkan yaitu asas profesionalitas yang menyangkut didalamnya penyampaian kabar yang aktual dan akurat, bersikap sesuai dengan pengahayatannya nilai filosofis profesinya. Kemudian di perkuat dengan asas moralitas yang menitikberatkan pada penggunaan moral dalam proses dan hasil berita itu sendiri dengan cara tidak melakukan tindak diskriminatif atau bahkan eksploitatif pada satu dua kelompok yang menyebabkan terjadinya kemunduran pada kelompok tersebut. Dua hal tadi tentunya harus di spotlight demi terciptanya suatu media kabar atau berita yang faktual aktual dan berimbang dan tidak menggiring opini publik atau mempersekusi satu pihak lainnya.

 Perkara lain yang perlu digaris bawahi sebab hal ini tidak terjadi sekali dua kali melainkan berkali kali hingga tentunya melanggengkan stereotip kaum pelangi sebagai kelompok tak bermoral. Kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya semacam penggerebekan pesta seksual yang dilakukan tempo hari pada saat Indonesia khususnya Jakarta pada status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) . Berita yang muncul pada portal internet sendiri malah menyoroti kepada orientasi para pelaku bukan pada pelanggaran mereka terhadap protokol kesehatan. Belum lagi kasus pemecatan beberapa pegawai pemerintahan pada institusi militer. alasan kejadian tersebut dikarenakan pelaku melakukan tindakan yang melanggar norma dan aturan yang memang sudah disepakati dan juga beberapa pasal pada hukum tertulis, namun yang di lakukan oleh beberapa portal berita lagi lagi menyorot yaitu orientasi para pelaku dengan mencantumkannya di headline.

Maka dari itu, perlunya penegasan atas asas asas jurnalistik serta kode etik yang saat ini nampaknya masih kurang efektif untuk mengatur para wartawan nakal yang tidak menghayati nilai profesi serta “viewers oriented” khususnya di portal berita online. Penegakan yang tepat serta tegas perlu diadakan untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan perilaku seperti ini yang tentunya bakal membudayakan stigmatisasi pada beberapa elemen masyarakat tidak hanya pelangi namun bisa jadi bagian masyarakat lain akan ataupun sudah dan terus merasakan dampak negatif tersebut.

Share this post