HIV Dan NAPZA, Bagaimana Hubungannya?

Sumber: CNN Indonesia

 

HIV atau human immunodeficiency virus merupakan virus yang seperti kita tahu bekerja dengan menyerang sistem kekebalan tubuh individu yang terinfeksi. Sudah banyak informasi tentang HIV khususnya terkait medium penularan, dan infeksi oportunistik penyertanya. Namun dalam mengkaji situasi di masyarakat terkait stigma dan diskriminasi, terdapat temuan yang mana menunjukkan bahwa adanya kesalahpahaman khususnya terkait pemahaman HIV sebagai penyakit kelompok tertentu khususnya yang berkaitan dengan keberagaman seksualitas dan gender. Miskonsepsi ini mengarah kepada minimnya kapasitas masyarakat terkait infeksi HIV di kelompok populasi lain. Seperti pada kelompok pengguna NAPZA suntik, informasi terkait infeksi HIV pada kelompok ini masih sangat jarang ditemui di masyarakat. 

NAPZA merupakan akronim dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Pengguna NAPZA tergolong menjadi 2 kelompok, yaitu pengguna NAPZA non suntik (injeksi) dan pengguna NAPZA dengan metode suntik (injeksi). Pengelompokan ini terbagi atas metode penggunaan zat itu sendiri, yang mana salah satunya dapat menjadi medium transmisi HIV jika tidak dilakukan dengan tepat dan aman.

HIV dan keterkaitannya dengan NAPZA pada dasarnya mengacu pada pengguna NAPZA suntik yang mengalami beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya peluang untuk terinfeksi HIV salah satunya ialah Gangguan Penggunaan Zat. Gangguan Penggunaan Zat (GPZ) adalah kondisi medis, psikologis, dan fisiologis kronis seseorang yang dapat dikendalikan serta diobati yang melibatkan interaksi kompleks antara sirkuit otak, genetika, lingkungan, dan pengalaman hidup seseorang. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan gangguan penggunaan zat berisiko pada transmisi HIV. Hal ini merupakan kondisi lanjutan dari penggunaan jarum suntik tidak steril secara bergantian yang juga disebabkan oleh minimnya ketersediaan alat suntik yang steril dan mudah dijangkau, serta kondisi GPZ itu sendiri.

Penggunaan NAPZA suntik adalah salah satu perilaku berisiko dalam transmisi HIV. Transmisi HIV terjadi ketika orang menggunakan jarum suntik tidak steril secara bergantian. Hal ini terjadi umumnya ketika orang dengan GPZ mengalami kondisi withdrawal symptoms yang ditambah dengan minimnya ketersediaan layanan dan alat suntik yang ramah dan mudah diakses. Withdrawal symptoms atau gejala putus obat (lebih sering disebut dengan istilah sakau) merupakan kondisi di saat individu dengan GPZ memunculkan berbagai respon fisik, psikis, dan kognitif karena berkurangnya intensitas zat yang dikonsumsi. Hal ini terjadi karena GPZ merupakan suatu kondisi kronis yang mana tidak dapat dianggap hanya diakibatkan dari pengambilan keputusan yang salah oleh orang dengan GPZ. Hampir 50% dari jumlah orang dengan HIV juga dilaporkan memiliki riwayat atau hidup dengan gangguan penggunaan zat. 

Menurut data dari UNODC, 15–39 juta orang di dunia hidup dengan Gangguan Penggunaan Zat dengan 11–21 juta orang di dalam data tersebut merupakan mereka yang menyuntikkan NAPZA atau people who inject drugs (PWID) dan sisanya merupakan mereka yang mengkonsumsi NAPZA non-suntik atau people who use drugs (PWUD). Dengan data tersebut, dapat dilihat bahwa GPZ bukan hanya terkait isu kepatuhan akan konsekuensi yang didapat oleh penggunaan alat injeksi secara bergantian. Namun juga ditemukan dalam beberapa kasus lain seperti ketergantungan terhadap zat lain yang bukan dikonsumsi melalui injeksi. Hal ini menjadi salah satu dasar yang jelas mengapa pendekatan moral dalam kritiknya atas perilaku penggunaan jarum suntik secara bergantian tidak relevan dengan penyebab seseorang mengalami GPZ di dalam hidupnya. 

Stigma terhadap orang dengan GPZ lebih bermasalah dalam krisis COVID-19. Berdasarkan data dari National Institute of Drug Abuse 2020, ada ketakutan terkait tidak mendapatkan akses di layanan kesehatan karena stigma dan hambatan berlapir dari pembatasan fisik yang ada. 

Mengurangi stigma tidak mudah, penolakan kerap hadir pada tenaga kesehatan yang belum dilatih dalam melayani orang dengan GPZ. Sangat penting bahwa seluruh sumber daya manusia di seluruh perawatan kesehatan dilatih dalam melayani orang dengan GPZ. Memperlakukan klien dengan bermartabat dan setara adalah langkah pertama yang baik untuk dilakukan. 

 

Referensi

(American Society of Addiction Medicine, 2019)

(Badan Narkotika Nasional. (2011). Fisiologi dan Farmakologi untuk Profesional Adiksi. Jakarta: Asian Centre for Certifivation and Education of Addiction Professionals.)

(Durvasula, R. (2014). Substance Abuse Treatment in Persons with HIV/AIDS: Challenges in Managing Triple Diagnosis. Behavioral Medicine, 40(2), hlm 43).

(National Center of Biotechnology Information, WHO, 2019)

(National Institute of Drug Abuse, 2020)

(UNODC, responses to annual report questionnaire, 2015)

Share this post