Drama di Balik Hukuman Kebiri Kimia

Banyaknya perdebatan mengenai regulasi dari turunan Undang-Undang Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimiawi, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 7 Desember 2020 lalu.

Hukuman kebiri kimia tidak hanya ada di Indonesia tetapi negara Eropa seperti; Perancis, Britania Raya, dan Polandia, serta beberapa negara bagian Amerika Serikat juga memiliki peraturan serupa. Sebagian besar negara tersebut melaksanakan hukuman kebiri bersifat sukarela, yang berarti dilaksanakan atas persetujuan terpidana. Berbeda dengan yang tertuang pada PP No 70/2020, kebiri kimia di Indonesia bersifat mandat, bukan sukarela.

Tindakan kebiri kimia tentunya dilakukan oleh profesi Kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai Organisasi Kedokteran menolak dan melarang anggotanya untuk menjadi eksekutor kebiri secara medis kepada pelaku karena menyalahi sumpah kedokteran dan hal kemanusiaan. Kebiri kimia pun menuai pro dan kontra, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) contohnya, kebiri dianggap tindakan kejam, tidak manusiawi dan melecehkan. Di sisi lain, tidak seperti kebiri fisik, efek kebiri secara kimia dapat dikembalikan sehingga fungsi reproduksi individu dapat berjalan normal kembali. Oleh karena itu, pihak yang setuju menganggap bahwa kebiri kimia adalah alternatif yang lebih etis dan tidak melanggar hak asasi.

Hak Asasi Manusia adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hal ini biasanya dialamatkan kepada negara – atau dalam kata lain – negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta.

Dari pembahasan berdasarkan berbagai sudut pandang yang sudah disampaikan, setiap manusia mempunyai hak atas tubuh kita sendiri serta setiap tubuh pada manusia tidak bisa ditambah dan dikurangi tanpa persetujuan (consent) orang itu sendiri. Dari sudut pandang kesehatan atau medis sendiri, hal ini melanggar beberapa aspek yang bersifat mandatori dan tidak dapat di ganggu gugat karena erat kaitannya dengan keprofesian dokter. Maka dari itu, ada baiknya peninjauan dan kaji ulang mengenai hukuman tersebut dan efektifitas dari produk hukum tersebut. Karena dengan minimnya pertimbangan dari sisi pemenuhan hak korban dan minimnya sudut pandang yang diguunakan dapat menimbulkan ketimpangan yang nantinya akan menjadi bom waktu tersendiri akan ledakan masalah yang lebih besar bagi pemerintah dan juga masyarakat pada umumnya.

Hal ini didasari oleh keputusan pemerintah yang dirasa bias gender akan pelaku kekerasan seksual itu sendiri. Kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh laki-laki yang mana penerapan hukuman kebiri kimia menjadi tidak efektif karena tidak dapat dilakukan terhadap perempuan. Juga definisi dari kekerasan seksual itu sendiri yang hanya terfokus pada tindakan penetrasi paksaan dari laki-laki terhadap perempuan dinilai tidak merangkul setiap kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi diluar proses penetrasi tersebut. Pemerintah juga menolak untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS) yang mana merupakan rumusan Undang-Undang yang dibuat dengan terfokus secara komprehensif pada hak pemulihan dan perlindungan korban, bukan hanya pada tindakan represi pada kasus pemerkosaan seperti dalam PP No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimiawi yang telah disahkan.

Share this post